• By Admin
  • March 18, 2025

Ngapain Kuliah Kalau Gelar Bisa Dicari?

Di era modern, gelar akademik menjadi sesuatu yang dicari. Gelar menjadi semacam simbol pencapaian dan kompetensi. Imej positif akan melekat pada mereka yang bergelar tinggi. Status sosial terangkat, orang-orang menaruh hormat, kesempatan untuk memperoleh kerja dan penghasilan yang lebih besar pun meningkat. 

 

Dalam masyarakat yang sangat kompetitif hari ini, gelar menjadi barang buruan. Banyak orang terdorong untuk meraihnya hingga nggak sedikit yang menggunakan jalan pintas. Salah satu praktik meresahkan dunia pendidikan ialah jual beli gelar. Sesuatu yang barangkali sudah sering kalian dengar. Praktik jual beli gelar seperti kentut, ia seperti tak kasat mata namun saat kita cium baunya sungguh nggak nyaman, begitu meresahkan.

 

Gelar Bahlil dari UI Jadi Polemik

 

Pertengahan Oktober 2024, Universitas Indonesia (UI) meresmikan Bahlil Lahadalia sebagai penyandang gelar doktor. Gelar tersebut diberikan setelah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia ini menyelesaikan kuliahnya dalam 4 semester di Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI). 

 

Pemberian gelar dari UI kepada Bahlil ini kemudian jadi sorotan publik. Pasalnya, waktu tempuh hingga menjalani Sidang Promosi Doktor dinilai cepat yakni kurang dari 2 tahun. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI, Andrinof Chaniago, menjadi salah satu akademisi yang melihat ada ketidakwajaran dalam perolehan gelar tersebut.

 

“Saya cuma mau pesan kepada pengelola SKSG dan pihak terkait di UI agar tidak membiasakan yang tidak wajar dan memperlihatkan yang tidak logis ke publik,” kata Andrinof, Jumat, (18/10).

 

Alumni UI menyusul membuat petisi kepada Rektor UI agar mengkaji ulang pembelian gelar ini. Petisi ini dimaksudkan sebagai bentuk kepedulian terhadap integritas kampus dan menjaga kualitas pendidikan tinggi di Indonesia. Harris Muttaqin, alumni UI, mengatakan masa studi Bahlil dalam menyelesaikan studi doktoralnya sangat mencolok dibandingkan dengan standar waktu yang telah ditetapkan oleh Peraturan Rektor UI terkait Penyelenggaraan Program Doktor.

 

Menurutnya, berdasarkan Peraturan Rektor UI Nomor 3 Tahun 2024, program doktoral umumnya dirancang untuk ditempuh dalam durasi waktu 6 semester. Pada 2 semester awal, mahasiswa akan dibekali dengan pengetahuan dasar untuk mendukung penelitian mereka. Selanjutnya selama 4 semester, mereka akan fokus pada penelitian. 

"Masa studi untuk program doktor biasanya memerlukan waktu yang lebih panjang untuk memastikan kedalaman penelitian dan kualitas akademik yang tinggi," ujar Harris, Kamis, (17/10).

Selain durasi tempuh, muncul dugaan kalau Karya Tulis Bahlil bermasalah. Dua karya Bahlil terbit di jurnal predator yang nggak punya standar akademik yang memadai. Guru Besar UI Sulistyowati Irianto mengatakan, tulisan Bahlil membahas tentang hilirisasi nikel, tapi diterbitkan di dua jurnal yang cakupannya bukan pada karya-karya ilmiah soal nikel.

 

Respons UI dan Bahlil

Merespons sejumlah desakan ini, UI kemudian memutuskan untuk menangguhkan gelar doktoral Bahlil. Keputusan ini diambil berdasarkan hasil rapat koordinasi empat Organ UI, yakni Majelis Wali Amanat (MWA), Rektorat, Dewan Guru besar (DGB), dan Senat Akademika (SA), Selasa (12/11).

“Kelulusan BL, mahasiswa program doktor SKSG, ditangguhkan mengikuti Peraturan Rektor Nomor 26S Tahun 2022. Selanjutnya akan mengikuti keputusan sidang etik,” kata Ketua MWA UI Yahya Cholil Staquf dalam siaran pers pada Selasa, 12 November 2024. 

Selain penangguhan ini, UI juga memutuskan untuk menunda sementara penerimaan mahasiswa baru di Program Doktor (S3) Sekolah Kajian Stratejik dan Global sampai audit komprehensif terhadap tata kelola dan proses akademik di program tersebut rampung. 

 

Menteri ESDM sekaligus Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia menanggapi keputusan Universitas Indonesia (UI) terkait gelar doktoralnya dengan santai. Menurutnya, berdasarkan surat rekomendasi yang ia dapat, dirinya nggak ditangguhkan.

 

“Kalau rekomendasinya mungkin sudah dapat, saya sudah dapat, di situ yang saya pahami bukan ditangguhkan," kata Bahlil di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (13/11).

 

Lebih lanjut, Bahlil menyadari dirinya belum dinyatakan lulus dari studi doktornya. Ada prosesi yudisium pada Desember yang mesti ia hadiri. Prosesi tersebut bisa dilakukan setelah ia melakukan perbaikan disertasi.

 

"Jadi setelah perbaikan disertasi, baru dinyatakan selesai. Lebih rincinya nanti tanya di UI aja ya," ujar dia.

 

Dua hari berselang, Yahya Cholil, Ketua MWA UI sekaligus Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengklarifikasi tentang isi nota dinas tertanggal 12 November yang beredar di publik. Poin pentingnya ialah yang konteks ditangguhkan yang dimaksud dalam isi surat ialah yudisuim Bahlil bukan gelar doktoralnya.

 

"Itu penangguhan yudisium (bukan penangguhan gelar doktoral) Bahlil," tutur Yahya Cholil, Jumat (15/11).

 

 

Nggak Cuma Gelar Akademik yang Transaksional, tapi Juga Gelar Guru Besar/Kehormatan

 

Gelar kontroversial Bahlil hanya satu dari sekian problem perguruan tinggi kita hari ini. Sikap Majelis Wali Amanat (MWA) yang nggak jelas mengingatkan kita pada praktik “obral” guru besar yang kerap terjadi di kampus. Sebelum ini, kita mendengar berita seputar pemberian gelar Doktor Honoris Causa ke Raffi Ahmad dari Universal Institute of Professional Management (UIPM). 

 

Gelar Kehormatan di bidang "Event Management and Global Digital Development" ini sempat jadi bahan perbincangan publik. Akhirnya gonjang-ganjing ini berakhir pada keputusan Kemendikbudristek yang nggak mengakui gelar tersebut lantaran UIPM nggak memiliki izin operasional di Indonesia.

 

Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) Satryo Soemantri Brodjonegoro meluruskan bahwa obral gelar akademik atau jabatan guru besar bukan kewenangan Kemendiktisaintek, melainkan pihak kampus.

 

“Itu sebetulnya bukan kami yang menata. Mereka (kampus) yang akan menata sendiri. Kan tahu salah, tapi dikerjakan juga. Bapak rektor yang harus benahi dari dalam. Sekali kampus bikin seperti itu, namanya tercemar kan,” kata Satryo, (30/10). 

 

Kendati demikian, dia mengatakan bahwa “obral” gelar akademik yang melibatkan lobi dan intervensi politik pejabat negara akan menjadi perhatian kementeriannya. Dia juga mencontohkan pemberian gelar di Amerika Serikat yang prosesnya sehat yakni melalui proses penilaian akademik di antara anggota komunitas ilmuwan. Misalnya, guru besar fisika mesti dinilai oleh pakar-pakar fisika.

 

“Saya maunya seperti itu. Jadi yang menilai adalah komunitas sejawat,” katanya.

 

PR Besar Mendiktisaintek

 

Sebagai orang biasa, melihat kasus gelar doktoral Bahlil dan gelar kehormatan Raffi Ahmad saya sungguh iri. Pasalnya, saya sendiri mendapati kalau untuk bisa kuliah itu susah. Boro-boro sampai S3, bisa sarjana saja orangtua saya terengah-engah dalam membiayai. Sesuatu yang barangkali dirasakan juga oleh kamu dan orang biasa lainnya.

 

Sementara itu Bahlil dan Raffi seolah dapat karpet merah dari jabatan dan popularitasnya. Yang satu dimudahkan bisa dapat gelar dari durasi waktu kurang dari dua tahun, yang satu lagi dapat gelar kehormatan dari aktivitasnya yang sumbangsihnya sulit diukur kebermanfaatannya. 


“Obral” gelar ini mesti jadi concern Mendiktisaintek Satryo Soemantri untuk dibereskan. Kampus juga mesti dipantau agar tak mudah melakukan praktik-praktik kotor macam ini. Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Herlambang P Wiratraman, mengatakan bahwa kampus seharusnya terbebas dari konflik kepentingan kekuasaan.

 

“Integritas akademik itu apa? Ya, tentu proses lahirnya pengetahuan atau ilmunya dengan karakteristik saintifikasi yang tidak dimanipulasi, tidak bisa plagiarisme dan fabrikasi,” kata Herlambang, Kamis (15/11).

 

Ia menilai sudah banyak sekali bukti kalau karya ilmiah gadungan melahirkan akademisi dan guru besar abal-abal. Mereka biasanya menggunakan jaringan mafia publikasi jurnal ilmiah yang predatoris hingga memanfaatkan birokrasi pemerintahan. Upaya inilah yang membuat dunia akademik dipenuhi sosok yang nggak memiliki integritas dan hanya mengincar gelar atau jabatan.