• By Admin
  • March 03, 2025

Jangan Bakar Buku, Jangan Bajak Buku

Buku adalah jendela dunia. Kutipan yang lazim kita temui. Di kafe edgy, beranda lini masa, perpustakaan, hingga di bagian paling bawah buku tulis kita semasa sekolah. Melalui buku, pengetahuan berjalan, buah pikir tersalurkan dari satu orang ke orang lainnya, hingga terbentuklah sebuah peradaban.

 

Sayangnya kini, kutipan tersebut perlahan dilupakan. Banyak orang tak suka baca buku. Membaca buku menjadi aktivitas yang kuno. Keberadaannya mulai tergantikan dengan hadirnya media sosial. Jika ada pertanyaan seputar sesuatu, orang lebih memilih mencari informasinya via YouTube, via TikTok, dan media sosial lainnya yang kredibilitas pembuatnya seringkali meragukan.

 

Buku Dibakar, Demokrasi Bubar?

 

Buku tak hanya kehilangan pembacanya, melainkan juga kehormatannya. Belum lama ini, beredar video buku “Catatan Najwa” dibakar TikToker. Aksi ini masuk dalam rentetan hujatan yang diterima jurnalis dan presenter Najwa Shihab usai berkomentar mengenai Presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo. Tepatnya ketika Jokowi menaiki pesawat Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara kala pulang ke solo, pada Minggu, 20 Oktober 2024 silam.

 

“Nggak jadi komersil, sekarang nebeng TNI AU,” ucap Najwa Shihab saat melakukan siaran langsung untuk prosesi pelantikan Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029 pekan lalu. 

 

Sebelumnya Jokowi dikabarkan berencana pulang ke Solo usai purna tugas sebagai presiden dengan menggunakan pesawat komersil. Namun ternyata pulang menggunakan pesawat kenegaraan yakni Boeing 737-800 Next Gen. Di pesawat tersebut, Jokowi bersama istri, Iriana Joko Widodo. Pesawat yang ditumpanginya itu mendapat kawalan delapan pesawat tempur TNI.

 

Cuplikan video Saat Najwa menyebut Jokowi nebeng pesawat TNI AU ini viral di TikTok. Banyak yang mengkritik Najwa sekaligus membela Jokowi dengan menekankan bahwa tebengan tersebut merupakan permintaan Presiden Prabowo Subianto. Hal itu tervalidasi oleh ucapan Budi Arie Setiadi

 “Iya (disuruh Prabowo) harus pakai pesawat kenegaraan. Masa mantan presiden dikasih naik komersial,” ucap Budi Arie.

 

Beberapa video pembakaran buku karangan Najwa kemudian beredar diikuti dengan sejumlah komentar berbau SARA. Fenomena ini terang menimbulkan pertanyaan, jika memang tak setuju dengan ucapan Najwa Shihab mengapa bukunya yang dibakar? Mengapa argumen tidak dilawan argumen? Buku, jendela dunia itu, seolah jadi kambing hitam. Sekalipun ada dugaan kalau aksi pembakaran buku ini didomplengi oleh “musuh” Najwa dari kalangan politik, namun tetap saja pembakaran buku tak bisa dibenarkan.

 

Pembajakan Buku: Ancaman Nyata Bagi Penulis

Buku kian hari kian teralienasi. Aksi pembakaran ini menggenapi sejumlah masalah terkait buku. Sampai hari di industri buku, terdapat problem yang tak kunjung usai. Yakni terkait pembajakan. Kian masif di era digital. Kalau dulu masalahnya hanya di buku cetak, kini di era digital problemnya semakin rumit. Buku-buku didigitalisasi kemudian dijual secara ilegal. 

Survei Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) pada 2021 mengatakan, sekitar 75 penerbit menemukan buku terbitan mereka terbajak dan dijual bebas di e-commerce. Ada lebih dari 130 penerbit yang terlibat dalam survei ini. Kerugian dari pembajakan ini ditaksir mencapai ratusan miliar rupiah.

 

”Pembajakan buku akan membunuh energi kreatif para pelaku perbukuan. Kita harus ikut mendukung buku-buku orisinal yang bisa membuat para penulis menghasilkan karya lebih baik lagi,” ujar Ketum Ikapi Arys Hilman Nugraha, Selasa (16/5/2023).

 

Hal ini diperparah dengan perilaku pembaca buku di Indonesia. Sejumlah pembeli tak ragu membeli buku bajakan lantaran harganya yang murah. Di Shopee, buku cetak ada yang dijual hanya seharga Rp2000-an, sementara buku digital hanya seharga Rp500. Sikap permisif tak hanya datang dari pembeli buku bajakan, melainkan juga oleh penjual dan platform penjualan. 

”Ini tantangan luar biasa. Di lokapasar, para penjual menyatakan bukunya kualitas setara orisinal. Pernyataan ini menunjukkan mereka tidak ada persoalan (menjual buku bajakan),” ucapnya.

Pelaku perbukuan, terutama penulis, menjadi pihak yang paling dirugikan lantaran mereka kehilangan hak mendapatkan royalti. Belum lagi komponen perbukuan lain, mulai dari editor, penerjemah, ilustrator, percetakan, penerbit, hingga toko buku, mereka semua ikut rugi. Proses produksi buku melibatkan banyak komponen. Ada biaya yang mesti mereka tanggung, ada tenaga yang mereka keluarkan. Sementara produsen buku bajakan hanya menanggung biaya percetakan.

 

”Mereka tidak bayar royalti, desain cover, dan komponen lain yang terlibat. Itu yang membuat harga bukunya murah,” ucapnya.

 

Marketplace menjadi lahan di mana buku bajakan dijual. Kondisi ini terkesan diabaikan oleh pemerintah. Masalah pembajakan, masalah bersama. Negara mestinya hadir untuk melindungi penulis dan industri buku. Sementara pembaca mestinya peduli soal hak cipta. Ada alternatif lain untuk bisa mendapatkan akses membaca buku, alih-alih membeli bajakan. Jika hendak membaca buku fisik, ada banyak perpustakaan yang bersedia meminjamkan, dari perpustakaan kota, daerah, hingga perpustakaan jalanan. Jika hendak membaca secara daring, situs web e-resources.perpusnas.go.id dan aplikasi iPusnas memfasilitasi dengan gratis.