- By Admin
- March 19, 2025
Anak SMA Nggak Bisa Baca, Salah Kurikulum Merdeka?
Jika kalian aktif menyelami lini masa media sosial beberapa waktu ke belakang, kalian pasti menemui sekelibat keluhan warganet soal pendidikan anak bangsa hari ini. Ada guru mengeluhkan anak didiknya sudah SMA tapi nggak bisa baca. Ada pula kisah anak SMP kesulitan menyelesaikan soal matematika sederhana.
Membaca itu, saya ikut miris. Bagaimana bisa anak SMA bisa kesulitan membaca? Kok bisa anak SMP berhitung sederhana saja nggak bisa? Berdasarkan pengalaman empiris saya, kemampuan membaca dan berhitung harusnya sudah tuntas di SD. Lantas, selayaknya warganet, saya ikut menganalisis hal-hal yang menjadi penyebab-apa yang mereka sebut- kemunduran pendidikan kita hari ini.
Diskursus publik memunculkan nama Nadiem Makarim sebagai aktor utama. Menteri Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) di era periode kedua kepemimpinan Presiden Jokowi ini dianggap sebagian warganet sebagai biang kerok dari kemunduran pendidikan hari ini. Khususnya terkait Kurikulum Merdeka yang jadi kebijakan utama semasa menjabat.
Pokoknya Salah Nadiem! Salah Kurikulum Merdeka!
Kurikulum Merdeka adalah kebijakan yang lahir atas keprihatinan melihat hasil studi Programme for International Student Assessment (PISA). Riset tersebut menunjukkan bahwa 70% siswa berusia 15 tahun berada di bawah kompetensi minimum dalam memahami bacaan sederhana atau menerapkan konsep matematika dasar.
Dalam sepuluh hingga lima tahun terakhir skor PISA ini nggak mengalami kenaikan yang signifikan. Studi tersebut memperlihatkan fakta bahwa ada kesenjangan besar kualitas pembelajaran antarwilayah dan antarkelompok sosial-ekonomi. Kesenjangan semakin parah dengan adanya pandemi COVID-19 yang membuat aktivitas belajar mengajar terhambat bahkan terhenti selama beberapa waktu.
Kemendikbudristek kemudian melakukan penyederhanaan kurikulum untuk mengatasi ketertinggalan pembelajaran (learning loss) selama masa pandemi. Kurikulum tersebut yang dikenal dengan istilah “kurikulum darurat”. Kebijakan tersebut diklaim berhasil. Dari 31,5% sekolah yang menerapkan kurikulum darurat menunjukkan bahwa kurikulum ini dapat mengurangi dampak pandemi sebesar 73% di sektor literasi dan 86% di sektor numerasi.
Pandemi perlahan usai. Kurikulum darurat kemudian bertransformasi menjadi Kurikulum Merdeka. Kurikulum Merdeka dikembangkan sebagai kerangka kurikulum yang lebih fleksibel dan berfokus pada materi esensial dan pengembangan karakter dan kompetensi peserta didik. Para pendidik kemudian juga diberikan fleksibilitas untuk melakukan pembelajaran yang terdiferensiasi sesuai dengan kemampuan peserta didik disesuaikan dengan konteks dan muatan lokal.
Salah satu kebijakan kontroversial yang lahir di era Kurikulum Merdeka ialah penghapusan UN. Keputusan tersebut tertera dalam Surat Edaran Mendikbud Nomor 1 Tahun 2021. Kebijakan ini belakangan dianggap sebagai biang kerok atas penurunan kemampuan literasi dan numerasi anak-anak bangsa.
Yakin UN Dihapus Penyebab Anak Jadi Nggak Belajar?
Sebagian warganet ketidakmampuan anak sekolah menyelesaikan persoalan baca-hitung salah satunya karena penghapusan UN. Kebijakan tersebut dianggap membuat peserta didik kehilangan motivasi lagi untuk belajar. Sebab, kelulusan tak lagi ditentukan oleh ujian akhir, melainkan nilai rapor tiap semester, nilai sikap/perilaku, dan nilai ujian yang diselenggarakan sekolah secara berkala.
Bak gayung bersambut, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti menyebutkan akan mengkaji pelaksanaan ujian nasional (UN). Dalam proses pengkajian, Mendikdasmen akan turut melibatkan para peneliti.
"Kita masih mengkaji, masih mengkaji UN itu dan baru akan melakukan diskusi dengan para peneliti dan pengambil kebijakan terkait dengan UN itu," kata Mu'ti, Rabu (6/11).
Hanya saja, upaya itu tidak disambut hangat oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Menurut Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo, penerapan UN sering membuat peserta didik cemas, karena kegiatan tersebut menjadi syarat mutlak kelulusan.
"Tapi kalau UN semata tujuannya sebagai alat evaluasi akhir jenjang, kemudian dipergunakan hasil UN itu sebagai alat seleksi, akan menimbulkan berbagai dampak negatif," kata Heru.
Heru juga menganggap bahwa ketika UN dijadikan penentu kelulusan yang kemudian muncul ialah kecurangan-kecurangan yang bertujuan untuk mendapatkan kelulusan. Nggak hanya itu, menurutnya, penyelenggaran UN juga memakan anggaran dan biaya. Banyak sekolah, memungut biaya untuk mengadakan pendalaman materi bagi persiapan peserta didik.
Argumen tersebut didukung oleh Ketua Komisi Nasional Indonesia untuk United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) Itje Chodidjah. Itje menegaskan UN sudah nggak relevan lagi untuk diselenggarakan saat ini. Justru kematangan mental dan kecakapan soft skill, seperti komunikasi, kolaborasi, dan kreativitas, yang sangat dibutuhkan peserta didik saat ini.
“Jika ujian nasional dihadirkan kembali ke sekolah, maka ruang kelas kita akan dipenuhi oleh kegiatan melatih siswa menjawab soal ujian,” ucap Itje.
Beresin Masalah Pendidikan Nggak Bisa Instan
Mengurai problem pendidikan kita hari ini nggak bisa semudah menyalahkan Nadiem, Kurikulum Merdeka, atau penghapusan UN. Banyak hal yang mesti disorot. Misalnya gaji guru yang masih rendah, pembangunan infrastruktur yang kurang merata, biaya sekolah yang mahal, dan seterusnya. Semuanya saling terkait dan terikat hubungan kausalitas.
Sebelum bicara soal anak SMA yang kesulitan membaca baiknya kita lihat dulu nasib pendidik kita? Bukan rahasia umum lagi kalau gaji honorer kita masih rendah. Sebelum ngomongin anak sekolah yang susah memecah soal matematika dasar, sudahkah kita memikirkan jarak tempuh ke sekolah bagi yang tinggal di daerah?
Masalah pendidikan adalah masalah bangsa. Pemerintah menentukan kebijakan, dan kita mengawasi serta memberi dukungan agar kebijakan tersebut bisa terlaksana. Jangan lupa juga kalau kita baru saja keluar dari situasi pandemi Covid-19. Situasi yang memaksa segala aktivitas terhenti lama. Termasuk kegiatan belajar-mengajar. Hambatan tersebut nggak bisa dikesampingkan juga.
Kita juga mesti optimis dengan pemerintahan yang baru. Lihat saja gestur Mendikdasmen Abdul Mu'ti, baru dilantik sudah aktif menimbang ini-itu, mengkaji hal-hal yang perlu. Mulai dari renovasi sekolah mangkrak, mengkaji UN dan sistem ranking, hingga janji akan menaikkan gaji guru ASN dan Non ASN. Yang terakhir, kabarnya akan terealisasi tahun depan.
"Sudah saya sampaikan tadi, Insya Allah akan ada kenaikan," kata Mu'ti, Rabu (6/11).
Ini jalan yang panjang dan berliku. Nggak bisa instan. Bantu ruang untuk Menteri baru merealisasikan idenya.
02 Comments
Albert Flores
March 20, 2024 at 3:27 pmReprehenderit qui dolorem ipsum quia dolor sit amet consectetur voluptas sit aspernatur aut odit aut fugit.
Alex Flores
March 20, 2024 at 3:27 pmReprehenderit qui dolorem ipsum quia dolor sit amet consectetur voluptas sit aspernatur aut odit aut fugit.
Leave A Comment